Soe Hok Gie


Mungkin masih banyak yang tak mengenal sosok kita kali ini, pria tionghoa yang bernama soe hok gie, yang menghabiskan hari-harinya di kota jakarta, indonesia. Apa yang menarik dari sosok kita yang satu ini???? jawabannya begitu kompleks, karena dia adalah orang yang menjunjung tinggi rasa sosialitas semasa hidupnya. Soe atau biasa juga di panggil rekan-rekan nya dengan nama Gie lahir di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1942, semasa hidupnya beliau selalu bertindak kritis atas ketidakadilan yang ada di depan matanya. Soe sendiri adalah seoarang aktivis muda yang juga seoarang mahasiswa fakultas sastra UI jurusan sejarah tahun 1962-1969.

Tindakan kritis Soe yang vulgar membuat rekan-rekan nya heran dan bertanya buat apa dia melakukan perlawanan ini,karena memang sangat jelas sekali Soe selalu melakukan hal-hal yang tidak sesuai porsi nya bagi seorang mahasiswa. Mungkin Soe adalah pelopor bagi mahasiswa sekarang untuk melakukan tindakan-tindakan demokrasi namun Soe dan rekan-rekan sepertinya lebih arif dan bijaksana dibandingkan demokrasi mahasisiwa masa kini. Soe mulai menulis atas segala hal yang terjadi di negri ini mulai dari kemiskinan, korupsi, kecurangan polotik, hingga tentang pemberontakan PKI. Bagi soe tiada hari tanpa menulis, jiwa sastra Soe lahir dari ayah nya sendiri yang juga seorang penulis, tulisan-tulisan pria yang menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius ini pun banyak telah di terbitkan baik media masa maupun buku, untuk di media masa Soe aktif menulis artikel di harian kompas, kami, dan indonesia raya, sedangkan buku yg telah di terbitkan antara lain Zaman Peralihan (Bentang, 1995), Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997),dan di bawa lentera merah.

Aktivitas Soe tak hanya terpaku pada menulis saja, dia juga sering mengadakan nonton film bersama dan membedah isi dari film itu, selain itu Soe juga aktif di MAPALA(mahasiswa pencinta alam), beliau lebih suka naik gunung dan menonton pertunjukan seni indonesia daripada demo sana sini, namun hal itu terpaksa dia lakukan lagi-lagi karena semua ketidakadilan ada di depan matanya.

Sebenarnya Soe sangat berperan penting dalam melengserkan kepresidenan soekarno dan kedudukan soeharto, semua itu tak terbantahkan dari tulisan-tulisan nya di catatan harian soe. Catatan harian nya kemudian dibukukan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Dari buku ini pula seorang sutradara kawakan indonesia, riri riza menuangkan nya ke dalam film pada tahun 2005. Dalam catatan Gie banyak terdapat kalimat-kalimat perlawanan terhadap bangsa ini, yang di inginkan Gie pada saat itu adalah melengserkan Soekarno sebagai presiden karena sudah dianggap melenceng dari cita-cita negeri ini yaitu mensejahterakan rakyat. Selain itu Gie juga menginginkan pemimpin negara ini bukanlah pemimpin yang berpihak pada golongan-golongan tertentu, dalam hal ini Soekarno berpihak lebih ke PKI, namun cita-cita Gie belum tercapai walaupun Soekarno jatuh dan di gantikan oleh Soeharto. Mungkin sampai saat ini cita-cita Gie belum juga terwujudkan untuk mendapatkan presiden yang tak berpihak kepada golongan mana pun.

Pada tahun 1969 Soe Hok Gie meninggal di gunung semeru saat malakukan aktivitas pendakian bersama sahabat nya Idhan Dhanvantari Lubis akibat menghirup asap beracun gunung tersebut, begitu singkat memang. Andai Soe masih hidup di zaman sekarang akankah mahasiswa kita masih brutal dalam berdemokrasi?????

Kembali pada catatan harian Soe Hok Gie yang notabene adalah catatan seorang demonstran, begitu banyak inspirasi di dalam buku itu, kalimat-kalimat yang tajam namun puitis membuat setiap pembaca nya merasa terinspirasi seperti kutipan-kutipan ini:
“Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”

“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”


“Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.”

“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”

“To be a human is to be destroyed.”

“Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.”

“Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.”

“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.”
“Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.”

“Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.”

“Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?”

“I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist. “

dan kutipan paling populer adalah "Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.”

dari catatan harian yang di penuhi goresan-goresan kata indah ini pula yang membuat seorang John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).

Semoga sosok kita kali ini dapat mengispirasi kita untuk lebih baik lagi sebagai anak muda yang menjunjung tinggi rasa nasionalis. Semoga bermanfaat.

0 Response to "Soe Hok Gie"