Hubungi 7607766
Saya seorang pengangguran, Ayah Saya seorang pejudi yang tidak punya penghasilan tetap, sedangkan Ibu Saya sudah pasti punya penghasilan tetap dari bisnis remang-remang pondok lendir saat dia melacur. Ayah yang dulunya mengecam tindakan Ibu menjajahkan diri, kini berbalik mendorong semnangat pada Ibu mengingat kebutuhan ekonomi keluarga. Saya jenuh dengan kemiskinan dan ketidakpastian hidup ini, berkali-kali Saya melamar pekerjaan, tapi berpuluh-puluh kali Saya ditolak perusahaan yang kebanyakan mengutamakan orang yang sudah berpengalaman, kalau aturan ini tetap berlaku sampai kapan Saya dan orang-orang seperti Saya mendapatkan penghasilan tetap yang menutup kemungkinan Saya untuk mencari makan persis seperti Ayah Saya, dan sampai kapan pula sumber daya manusia di negara ini akan benar-benar efektif dan efisien jika selalu saja yang diutamakan orang-orang berpengalaman, kapan berkembangnya?
Apa memang takdir Saya harus jadi pengangguran seumur hidup? Tuhan memang tidak adil…, Tuhan??? Ahhh… siapa itu Tuhan?
Malam ini Ibu pulang tidak terlalu larut, sementara Ayah masih kongkow-kongkow dengan sesama pejudi yang sudah pasti topiknya adalah menyalahkan pemerintah jika sudah bosan membicarakan kelihaian istri masing-masing saat bercinta.
Lagi-lagi Ibu menanyakan padaku mengenai pekerjaan, memasuki usiaku yang ke dua puluh empat ini, Ibu mulai merubah tata bahasanya yang selalu kasar jika menanyakan sudahkah Saya mendapatkan pekerjaan.
Seperti biasa Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala serambi menunduk memberi isyarat sampai detik ini tak ada tanda-tanda Saya akan memperoleh pekerjaan. Ibu mengeluh, sepertinya Ibu ingin marah, mungkin dalam hatinya berkata
"capek-capek jual daging tengah malam, disekolahkan tinggi-tinggi, udah jadi sarjana ekonomi, tapi ga bisa apa-apa sampai sekarang"
Tapi ternyata keluhan Ibu yang keluar dari bibir tebal nya itu bukan mengenai kekecewaan terhadap Saya karena belum kunjung mendapat pekerjaan, melainkan kejadian barusan mengenai usaha Trantib untuk memburu para pelacur liar kini semakin agresiv. Ibu cerita saat dia mangkal menanti para pejajan dan mendengar sirine buas yang siap memburu PSK, tangan nya dengan sigap merogo tas mini yang disandangnya meraih jaket tipis panjang dan selembar selendang, dengan cepat pula tangan kirinya merogo bagian dalam rok meluncurkan lipatan legging yang dipakainya kebawah, lalu memakai jacket dan menutup kepala dengan selendang tadi.
Ibu akhirnya bisa berjalan lempang dengan bebas tak menghiraukan tim Trantib, demikian juga sebaliknya, Trantib tak sedikitpun punya keinginan menggelandang Ibu melihat penampilannya yang serba tertutup dan lumayan sopan. Sialnya seorang apoteker cantik yang bekerja tak jauh dari tempat Ibu mangkal, ketangkap di klaim sebagai pelacur, Ibu kenal dengan dia, pada sift tertentu si apoteker yang berpakaian serba putih dan minim itu harus pulang tengah malam. Ingin Ibu membela dan menjelaskan bahwa dia bukan lah penjajah syahwat seperti dirinya. Tapi tidak..., Ibu mengabaikan niatnya, dia lebih memilih jalan aman dengan diam.
Heummm...., Saya bergumam kecil,
"masihkah penampilan menjadi prioritas utama pihak kepolisian untuk mendakwa seseorang itu adalah A, B, atau C tanpa mendelik lebih dalam lagi. Haruskah apoteker itu mengikuti jalannya interogasi, dipaksa naik truk, dinasihati ini itu mengumbar nasihat-nasihat suci"
Ya sudahlah..., Saya tak mau terlalu pusing dengan cerita Ibu mengenai si apoteker tadi, Saya harus lebih fokus untuk mendapatkan pekerjaan.
***
Hubungi 7607766
Rong..., Rongki.....
Gunawan memanggil Saya dengan suara cemprengnya menambah suasana gerah di siang ini. Saya berlari tancap menujunya memastikan ada kabar lowongan kerja, Gunawan tak pernah mengecewakan Saya. Dia pasti ada maksud serius hingga dengan lantang memanggil-manggil Saya.
Lari Saya mendadak parkir di bagian ruangan rumah reot ini, Saya melihat Ayah didepan televisi tapi tak menyimaknya, Dia ketawa girang seolah tak menyangka dengan deretan angka diatas secarik kertas kecil kumal di genggamannya.
Ayah menang togel, perjudian dengan menebak-nebak angka itu kembali marak setelah dulu ditiadakan oleh pemerintah. Tapi Ayah tak peduli sehingga kegirangannya menjadi-jadi, pun dengan siaran berita yang ada di depan muka sangarnya.
Lagi-lagi penyiar berita mengabarkan pengakuan dari seorang desa bahwa dirinya adalah wali Tuhan untuk bumi ini. Ratusan pengikutnya dihajar babak belur oleh sebuah organisasi keagamaan, mendakwa mereka sebagai aliran sesat. Entahlah...., siapa yang benar siapa yang salah, siapa yang suci siapa yang mendusta Tuhan. Saya tak mau ambil pusing, Saya harus fokus untuk mendapatkan pekerjaan.
Perjalanan Saya dengan Gunawan yang mengendarai motor tujuhpuluhan bututnya lumayan mulus tanpa kemacetan lalu lintas menuju showroom mobil terbesar kebanggan kota ini. Ya.., kami menuju showroom itu buat melamar pekerjaan sebagai apa saja. Saya sudah tak mau fikir panjang untuk kali ini. Dalam perjalanan Saya melihat banyak kertas-kertas iklan liar yang menempel di batang-batang pohon beringin sepanjang trotoar. Ada iklan yang menawarkan suatu produk provider handphone dengan pose artis seksi mengenakan kaos ketat yang bertuliskan "I'm Free" menonjolkan dadanya sambil bertelepon, ada iklan menawarkan jasa sedot WC, ada pula iklan slogan yang berbunyi
"jauhkan anak anda dari narkoba" atau
"jagalah keindahan kota"
Negara yang luar biasa! Disepanjang jalan bahkan saya yakin di seluruh bagian negri ini lebih banyak memasang close up perawan-perawan cantik yang berpose vulgar namun sudah di anggap wajar, daripada rupa tokoh-tokoh pengurus negara. Coba tanyakan dengan siswa yang baru lulus pendidikan menengah pertama, dipastikan mayoritas menjawab tidak tahu ketika ditanya siapa mentri kelautan dan perikanan, namun akan menjawab lantang dengan benar saat ditanya siapa artis seksi yg ada di stiker iklan pohon itu.
Begitu juga dengan iklan pemerintah yang menghimbau untuk menjaga keindahan kota.
Cuiiih..., iklan bulshit berkedok mendukung kelestarian sekitar, tapi kenyataannya.... papan iklan itu juga yang ramai berjejer merusak kerindangan pepohonan. Saya hanya bisa menjadi penonton yang tenang dalam boncengan motor tua Gunawan menyaksikan kebobrokan negara ini.
Hubungi 7607766
Dari sekian banyak jenis iklan yang Saya perhatikan, hanya ini yang membuat bingung Saya tiba-tiba bergejolak. Saya tidak begitu pasti apakah ini iklan atau keisengan orang-orang nganggur seperti Saya. Bukan menawarkan suatu produk, bukan menawarkan jasa, dan bukan pula slogan-slogan palsu seperti tadi. Di stiker kecil itu cuma bertuliskan :
"Hubungi 7607766"
Aneh sekali!
Lagi-lagi Saya tak mau ambil pusing dengan alasan yang sama, NYARI KERJA!
Sesampainya di showroom yang membutuhkan ratusan karyawan untuk disebar ke beberapa kota, Saya dan Gunawan masuk dengan modal percaya diri dan beberapa berkas yang tadi sudah dipersiapkan. Hanya lima menit kami didalam, setelahnya keluar dengan wajah lusuh. Saya dan Gunawan bertatapan saling memamerkan raut aneh bercampur dendam di wajah masing-masing mengingat ucapan Bapak sombong setengah tua yang kami tidak tahu apa jabatan nya di perusahaan ini berucap singkat namun menyakitkan :
"Rongki dan Gunawan..., betul??? Begini ya...., kalian itu sama sekali belum punya pengalaman kerja. Jadi tidak mungkin kami menerima kalian untuk bekerja di showroom terbesar di kota ini, lagipula kami membutuhkan pekerja yang sudah mempunyai mobil sendiri"
***
Langit malam mengiringi vokal kegelisahan Saya dengan orkestra gerimis yang melankolis. Dengan merdu Saya melantunkan lagu keheranan Saya tentang alasan Bapak tua showroom menolak Saya dan Gunawan. Saya terkagum dengan para penonton yang mendengarkan nyanyian Saya dari hati. Penonton yang terdiri dari cahaya lampu lima belas watt, almari usang penuh lubang, ranjang tiga kaki, dan penghuni kamar Saya yang lainnya riuh memberi tepuk tangan di iringi keprihatinan.
Pengalaman! hanya itu kah???
Lalu untuk apa gelar sarjana ekonomi Saya? dan jaminan apa yang diberikan titel sarjana hukum Gunawan?
Ditengah berlangsungnya konser agung yang penuh kekecewaan, tiba-tiba tujuh digit angka membuyarkan pertunjukan akbar Saya. Seluruh penonton pura-pura tidak tahu, dan mereka berlarian berserak menuju fungsi masing-masing.
Tujuh digit angka itu adalah yang tertera disepanjang pohon yang Saya lalui tadi siang. Secara memaksa angka-angka itu memberi sugesti pada Saya untuk menyudahi konser kekecewaan ini. Dengan paksa pula angka-angka yang tak terlalu sulit di ingat itu memerintah Saya untuk terus mengingat, mengingat, dan mengingatnya.
Lalu..., nomor telepon siapakah itu?
Benarkah Saya dipaksa untuk mengingat-ingat deretan nomor itu yang kemudiannya akan memaksa Saya untuk menghubunginya?
Atau Saya yang terlalu naif menyerahkan sel-sel memori otak Saya untuk memberi ruang menyimpan angka-angka tidak penting itu?
Hubungi 7607766
Saya mencoba menghubungi nomor itu dari telepon umum.
Tidak dijawab!
Saya ulangi, redial.
Tuut.. tuutt... tuutt...
Tidak dijawab!
Kembali Saya menekan redial....
kreteek..., Saya menghempaskan gagang telepon ke tuas pengait karena lagi-lagi tak dijawab.
Saya penasaran, ada apa dibalik nomor itu.
Tersambung tapi tidak dijawab.
Apa maksudnya mengumbar nomor telepon di tempat umum tanpa alasan yang jelas.
Satu jam kemudian...
Saya menelpon kembali nomor itu.
Tuutt... tuutt... tuutt....
Ulangi lagi.
Tuut... tuuut...
Lagi....
Tutuut...tuutt... tuutt...
Lagi....
Tuuutt... tutt...
Tuutt... tutt... tuutt....
Agggrrhh..., Saya kali ini benar-benar menghempas bukan peduli terhadap terik, tapi karena nomor telepon misterius ini.
Entah kenapa penasaran Saya berlebihan kali ini. Saya lebih fokus untuk menghubungi nomor telepon ini. Target memperoleh pekerjaan Saya abaikan demi membunuh penasaran Saya yang sudah mengubun-ubun.
Saya ke rumah Gunawan, meminjam ponselnya.
Heran Gunawan menghakimi Saya dengan tegas.
Saya mulai memencet nomor itu...
7-6-0-7-7-6-6
Call...
Tuutt...
"Aku yakin Kamu pasti menelpon Aku"
Begitulah jawabannya sebelum nada sambung pertama selesai.
"Akulah Tuhanmu"
"Darimana Anda tahu Saya pernah menelpon Anda"
"Dari Kamu! Kenapa??? Apakah Kamu punya masalah"
"Ti.. tidd.... tidak"
"Jangan malu! Beri saja rasa malu Kamu itu kepada para pejabat yang krisis rasa malu, Kamu dan Aku harus buang jauh-jauh rasa malu itu"
"Maaf..., Saya salah orang"
Saya menutup pembicaraan dan memutuskan komunikasi. Heran Gunawan sekarang mendakwa Saya sebagai orang aneh.
Saya pulang membawa bingung. Kebingungan itu menaklukan semangat Saya mencari pekerjaan seperti Saya menaklukan cibiran ibu-ibu yang menganggap Saya benalu keluarga ketika melintasi mereka di lorong gang.
***
Di kamar busuk ini Saya masih memikirkan dialog singkat Saya dengan mahluk di telepon tadi.
Tuhan? Pemerintah? Masalah? Saya memikirkan semua itu seraya menghisap dalam-dalam rokok putih ramping murahan.
Semua yang diucapkan nya sedang Saya hadapi sekarang.
Mencari Tuhan, mencari pekerjaan, dan menanti kebijakan pemerintah.
Rongky...!!! Ayah memanggil Saya dengan seraknya.
Ternyata Gunawan datang. Orang yang mengaku Tuhan menelpon lagi dan ingin berbicara sama Saya. Gunawan meminjamkan ponselnya hingga esok pagi, Gunawan tentu tak usah khawatir mengenai pulsa nya, toh yang menghubungi si tuhan.
Halo...! Saya menjawab tegas.
"Siapa namau Kamu"
"Rongki"
"Pekerjaan"
"Saya pengangguran"
"Usia"
"Dua puluh empat tahun"
"Agama"
"Saya tidak punya Agama"
"Kenapa"
"Karena Saya tidak tahu apa itu agama, sia-sia Saya memiliki sesuatu yang Saya tidak tahu apa fungsinya"
"Cerdas!"
"Apanya yang cerdas"
"Kamu! Kamu sangat cerdas"
"Alasannya"
"Kamu pantas jadi nabi Ku"
"Atas alasan apa Anda mengatakan Saya cerdas? jangan mengalihkan"
"Nanti Kamu juga akan tahu, sekarang maukah Kamu bekerja dengan Aku"
"Caranya?"
"Hubungi 7607766"
Tut tut tut tut....., si tuhan memutuskan komunikasi.
Pagi ini Saya ingin menelpon sang tuhan. Tapi menggunakan apa? Jika Saya terus-terusan menggunakan telepon umum, uang makan siang Saya yang dijatah Ibu lama kelamaan akan menipis, sementara Gunawan tak akan mungkin mau meminjamkan ponsel nya pada Saya untuk waktu yang lama.
Woow..., Tuhan memang adil! Saya melihat sebuah iklan di koran lusuh pembungkus nasi yg dibeli tadi malam. Di iklan itu menyatakan pagi ini ada penjualan ponsel murah, hanya sembilan puluh sembilan ribu. Saya langsung bergegas ke sebuah gedung yang di jelaskan iklan itu.
Di saat-saat genting seperti ini Tuhan menunjukan jalan pada Saya untuk membeli telepon genggam semurah ini, sungguh ajaib.
Saya benar-benar yakin Tuhan yang akan Saya telepon adalah Tuhan sejati yang akan memberikan kehidupan yang indah pada Saya.
Untung! Ya! Saya menjadi orang yang beruntung saat ini. Karena Saya datang terlalu pagi, Saya dengan mudah mendapatkan ponsel murah itu sebelum kejadian sekarang. Para pengantri dengan cepatnya memenuhi jalan raya mengganggu arus lalu lintas. Ada yang pingsan terinjak-injak, anak kecil kehilangan orangtuanya, kericuhan saling berebut, dan banyak insiden lain yang membuat pihak kepolisian membubarkan event akbar yang sangat disukai masyarakat negri ini, penjualan barang murah!
Sesampainya Saya dirumah, Saya buru-buru menghubungi sang Tuhan.
"Ya"
"Tuhan..???"
"Hai Rongki"
"Hai Tuhan"
"Kenapa Kamu menelpon Aku"
"Karena Saya sedang mencari keadilan Tuhan"
"Kamu mengenal Tuhan sebelumnya?"
"Tidak, untuk itu Saya menelpon Anda"
"Kamu yakin Saya ini adalah Tuhan?"
"Kenapa Anda menanyakan keyakinan Saya? Bukankah Tuhan selalu memberi jawaban?"
Hampir dua jam Saya bicara dengan mahluk yang mengaku Tuhan itu. Dialog-dialog kami tajam dan berani mempertanyakan maksud masing-masing.
"Anda menetap dimana sekarang?" Saya memastikan.
"Kamu tak perlu Tahu"
"Kenapa Anda mengaku sebagai Tuhan?"
"Lalu kenapa Kamu menelpon Aku?"
"Saya cuma ingin memastikan apakah Anda benar bisa merubah kehidupan Saya"
"Saya janji akan merubah nasib Kamu, katakan apa persoalan hidup Kamu?"
"KEMISKINAN!"
"Kenapa dengan kemiskinan?"
"Negara ini sentimen sekali kepada Saya, padahal Saya tidak pernah membuat keributan, Saya tak pernah membuat malu negara ini, dan Saya tak pernah merugikan negara. Saya mengikuti aturan-aturan mereka, Saya dengan setia mengikuti upacara bendera setiap hari kemerdekaan, tak pernah saya lupa mengibarkan bendera dua warna di rumah setiap tahunnya"
"Kenapa Kamu menyalahkan negara? Yang kamu salahkan itu pemimpinnya, dan juga semua pejabat pemerintahan. Negara ini terlalu polos untuk di kelola pemerintahan yang picik"
"Dan negara ini terlalu miskin untuk di kuras pejabat-pejabat serakah?"
"Siapa bilang? Negara ini tidak miskin! Hanya orang sirik saja yang bilang negara kita ini negara yang miskin. Negara kita ini masih kaya, bahkan terlalu kaya. Sakin kaya nya dengan sangat mudah membagi-bagikan mobil mewah harga satu koma tiga milyar buat orang-orang yang disebut pengurus negara, bahkan ada yang remeh mencibir karena mobil itu tak lebih mahal dari yang di miliki para pejabat negara itu. Negara yang luar biasa..., negara yang kaya. Apakah Kamu masih bilang negara ini miskin? kalau rakyat nya yang miskin jangan salahkan negaranya, salah kan kebodohan mereka karena mau membiarkan petinggi-petinggi negeri ini menyengsarakannya"
"Mereka itu termasuk Saya?"
"Jangan tanyakan padaku soal itu, ya sudah..., nanti kita sambung lagi. Aku mau ke kediaman salah satu umatku, mereka memintaku menghapuskan dosa-dosa mereka sekeluarga"
Hingga saat itu sang tuhan menutup telepon tanpa meminta respon dari Saya.
Bodoh! Mungkin Saya adalah orang yang paling bodoh yang dimiliki negara cerdas ini. Tak tahu apa yang menyebabkan kebodohan Saya. Mungkin kemiskinan yang memaksa Saya untuk bodoh, mungkin juga karena takdir, atau jangan-jangan Saya bodoh karena Saya tak mempercayai Tuhan. Tuhan??? bukannya yang baru Saya telpon tadi adalah Tuhan???
Apa itu Tuhan??? Saya makin bodoh akibat diperbudak pertanyaan barusan.
Sudah empat hari Saya mendekam di kamar sempit ini, selama itu pula Saya selalu rutin menelpon tuhan untuk mendengar petuah-petuah nya yang sedikit penting. Atau justru Dia yang sebenarnya berharap rutin mendengar keluhan-keluhan bodoh Saya. Saya makin menikmati berdialog dengan tuhan yang sengaja menyebar nomor telepon nya di jalanan. Seakan Saya menemukan sosok juru selamat dalam keterpurukan masalah Saya. Saya juga sering tak peduli dengan keadaan sekitar, Yang Saya tahu pasti adalah Ibu makin laris manis menjajahkan tubuhnya, Ayah mendewakan deretan angka-angka togel, namun untuk Gunawan Saya hampir tak mendengar kabarnya.
Saya kembali menelpon tuhan.....
"Halo Rong.., apa kabar?"
"Masih biasa! Bagaimana dengan penghapusan dosa keluarga kemarin?"
"Semuanya beres, dan mereka kembali suci selayaknya bayi"
"Anda yakin?"
"Kalau Kamu masih mempertanyakan itu, kenapa Kamu masih menelpon Aku?"
"Saya menelpon Anda bukan semata-mata karena saya yakin Anda adalah Tuhan"
"Lantas?"
"Saya ingin kepastian"
"Rongki… Rongki…., Kamu tahu Lia Eden? Kamu tahu Ahmad Mushadeq? Atau baru-baru ini Kamu pernah dengar nama Ahmad Tantowi? jika mereka bisa mengaku Tuhan, Kenapa Aku tidak boleh?"
"Dan Anda merasa layak disejajarkan dengan mereka?"
"Bukan hanya sejajar, tapi bisa jadi kedudukanku lebih tinggi daripada mereka. Belakangan orang berlomba-lomba mengaku sebagai Tuhan, mengumpulkan umat sebanyak-banyaknya yang kemudian dijadikan sebagai pengikutnya. Kenapa Aku harus jadi pengikut jika Aku bisa jadi pemimpin. Kalau bicara soal agama, arrrrghh… agama itu sekarang hanya menjadi propoganda orang-orang buat mempertahankan kekuasaannya, dan Aku cukup pantas untuk meramaikan ketuhanan di negri ini"
"Yang artinya Anda hanya ikut-ikutan?"
"Jika iya Aku ikut-ikutan, kenapa Kamu mau menghubungiku padahal banyak tuhan-tuhan lain yang berserakan di negara ini?.
"Saya semakin yakin kalau Saya tak akan bisa menemukan sosok Tuhan yang sejati, mendengar pertanyaan-pertanyaan konyol dari Anda"
"Rong..., Kamu tahu apa fungsi Tuhan? Kamu tahu kenapa Tuhan selalu di agungkan?"
"Mungkin karena Tuhan adalah sosok yang misterius"
"Lalu kenapa Kamu tidak mempercayai Tuhan?"
"Saya tak akan mempercayai sebelum Saya menemukan"
"Dengan Menelpon Aku, Kamu berharap bisa menemukan sosok Tuhan?"
"Mungkin iya!"
"Kalau begitu temukan Aku besok! jam dua siang dijalan Sabota, nomor seratus tiga puluh tiga, Pusat Kota. Aku akan angkat Kamu jadi nabiku. Sampai jumpa!"
***
Angin malam menghantam pipi kasar Saya, sementara gemintang dengan lagak angkuhnya menyirami malam yang sudah sedikit basah dengan cahayanya tanpa mempedulikan Saya yang sedang berbunga-bunga karena besok akan menemui tuhan. Tak sabar rasanya menantikan besok siang, Saya diangkat menjadi nabi! luar biasa...
Dalam ketidaksabaran Saya yang memuncak, akhirnya Saya dihempaskan juga oleh tidur hingga Saya mendarat di alam mimpi.
Dalam mimpi Saya berada di antara ratusan umat yang siap mengagung-agungkan status Saya sebagai nabi, pakaian Saya yang elegan, aroma tubuh yang memikat, raut wajah yang berseri, Saya siap membawa para umat yang tersiksa dengan ketidakadilan negeri ini ke arah yang memuaskan. Namun beberapa para umat yang datang dari pelosok utara malah menertawai Saya. Dasar pengikut yang tak tahu sopan..! Sang nabi lewat bukan nya hormat justru mencemooh. Tapi Saya tak peduli, Saya tetap berjalan lurus menuju sang tuhan untuk menyematkan status kenabian Saya. Saya berjalan masih dengan pakaian yang elegan, aroma yang memikat, dan wajah yang berseri. Tak lupa Saya membusungkan dada Saya untuk memamerkan papan nama kecil yang terpasang di bagian dada kanan kemeja Saya dengan nama agung membanggakan NABI RONG.
Tinggal beberapa jam lagi Saya akan menemui sang tuhan, ini kali pertama Saya begitu tergesah-gesahnya untuk menemui sosok yang amat menyenangkan. Hanya pada dia selama ini Saya menggantungkan harapan Saya menuju kesejahteraan, Saya ingat janji nya waktu itu, memberi Saya pekerjaan. Dialah tuhan yang Saya agungkan. Yang menjamin Saya menuju kebahagiaan yang hakiki.
Sebelum Saya berangkat ke kediamannya, Saya mencoba kembali menelponnya untuk memberi kepastian Saya akan datang sesaat lagi.
Mentari pagi yang siap menyapa siang menertawai Saya, kicauan kawanan burung menyanyikan lagu bernada cibiran. Ada apa ini??? kenapa alam seolah memusuhi Saya setelah berkali-kali Saya menelpon tuhan namun tak ada jawaban.
Saya tak ambil pusing..., terkadang sikap remeh alam menunjukan dukungan pada makhluk yang bernama manusia. Bukan berarti telepon Saya yang tidak terhubung pada tuhan karena sambungannya di putuskan oleh provider bersangkutan lantaran tidak membayar tagihan, tuhan Saya sudah pasti sangat kaya raya.
Saya mencoba menelpon kembali.....
Sial! kembali tak di jawab. Tumben tuhan tak mengangkat telpon Saya. Saya tak mau terpaku lama memikirkan kenapa telpon Saya tak tersambung, dengan segera Saya pun berangkat menuju sang tuhan.....
Saya naik angkot menuju alamat si tuhan. Saya melamun diantara sesak beraneka penumpang.
Di sisi kiri Saya penumpang berpenampilan tegas berjubah merah dan bertanduk memberi semangat pada Saya yang siap diangkat menjadi nabi. Sementara di sisi kanan Saya adalah sosok lembut berpenampilan serbah putih malah menyapa ramah berkata
"berfikirlah yang rasional, jangan menyerah dengan keadaan"
Saya tak mengenal kedua sosok yang sok akrab itu..., Saya mengabaikan kata-kata keduanya.
Jalan Sabota, No. 133, Pusat Kota. Sekarang Saya sudah berada di depan rumah sederhana si tuhan. Luar biasa sekali siang ini...., si tuhan benar-benar akan mendeklarasikan pada semua orang bahwa Saya akan menjadi nabi agung. Setidaknya itulah yang Saya tangkap melihat situasi di dalam maupun di perkarangan rumahnya yang lumayan lebar padat dipenuhi warga. Pasti mereka adalah para umatnya, pasti mereka rela berdesakan untuk dihapuskan dosanya. Sekarang Saya berjalan perlahan-lahan diantara para umat menuju pintu utama rumah sang tuhan. Benar-benar ramai, sungguh riuh, Saya takjub dengan situasi ini. Situasi sesak dengan keramaian menanti Saya yang akan segera diangkat menjadi nabi.
***
Pusat Kota (SWARTA)
Delapan orang tewas gantung diri didalam sebuah rumah tua yang di huni oleh penyebar aliran sesat. Pemimpin aliran sesat, Malik Kartono (46) yang mengaku dirinya sebagai Tuhan juga termasuk diantara delapan mayat itu. Sementara tujuh mayat lainnya yang menjadi pengikut Malik adalah Nurshanti (31), Robert Raksana (25), Saripah dewi (30), Gunawan (24), Nasib Bagus (37), Zulfan aliandro (28), dan Panji Tjokro (40). Di sinyalir praktik gantung diri itu adalah salah satu ajaran dari Malik kepada para pengikutnya untuk mencapai surga. Aliran sesat ini sebenarnya sudah mulai membuat resah masyarakat sekitar, namun tak ada yang berani membubarkan mengingat pendiri kelompok ini, Malik Kartono adalah seorang yang disegani di kampungnya dan sempat ikut daftar di pemilahan calon anggota DPR, demikian dikutip dari pengakuan Sumiati, tetangga Malik.
Malik sendiri punya cara yang unik untuk mendapat pengikut, yakni menyebarkan nomor teleponnya di beberapa lokasi umum tanpa memberitahu identitas dan tujuannya. Beberapa teman dekat Malik mengatakan bahwa pria tak beristri ini mulai aneh sejak kalah di pemilihan anggota legislatif tahun lalu.
(selanjutnya baca di hal 5 kol 8)
Seperti itulah berita yang saya baca di halaman muka Koran SWARTA. Berita itu begitu cepat di cetak oleh SWARTA, sebuah surat kabar Sore terakurat di kota ini. Namanya Malik Kartono, sosok yang selalu saya idolakan yang bersembunyi dibalik angka 7607766. Saya mengira keramaian yang amat sangat tadi siang di rumahnya adalah guna menyambut kedatangan saya sebagai nabinya, namun ternyata semua itu adalah kegaduhan masyarakat sekitar menyaksikan delapan orang tewas gantung diri dengan susunan yang rapih. Saya hengkang tak mau kelihatan terlibat, hingga kini Saya kembali berada di angkot dan membeli koran sore SWARTA di persimpangan lampu merah. Saya sedikit membatin ketika membaca isi koran itu, tempat yang baru Saya kunjungi, orang yang seharusnya Saya temui menjadi berita utama di SWARTA dengan tagline PENYEBAR ALIRAN SESAT TEWAS GANTUNG DIRI BERSAMA TUJUH PENGIKUTNYA UNTUK MENCAPAI SURGA.
Sekali lagi Saya dikalahkan oleh kebodohan Saya sendiri.
***
Nama Saya Rongki Irawan Manuhutu, Umur Saya duapuluhempat tahun, Saya bukan lagi pengangguran, kedua orangtua Saya pengurus sebuah LSM perdagangan wanita setelah dulunya mereka masing-masing disibukkan dengan dunia hitam, yang satu melacur, yang lainnya berjudi, namun kini mereka berubah setelah Saya meminta mereka untuk bergabung di LSM yang bekerjasama dengan media tempat Saya bekerja. Saya punya seoarang sahabat yang kini sudah berpulang ke pangkuan Tuhan yang sesungguhnya, namanya Gunawan. Dia tewas bersama kebodohannya mengikuti ritual gantung diri arahan dari tuhan palsu, Saya tak menyangka dengan diamnya ternyata Gunawan terobsesi buat mengikuti jejak si tuhan imitasi melebihi antusias Saya waktu itu. Gunawan yang seorang sarjana hukum ternyata tak lebih pintar dari Saya sampai-sampai dia mau mati konyol, atau memang takdir yang membuat Saya terlambat datang pada hari naas itu sehingga Saya masih bisa ada di tempat ini. Entahlah....
Terkadang kekurangan itulah yang melebihkan kita, terkadang kebodohan itulah yang mencerdaskan kita, terkadang pengalaman pahit itulah yang mendikte kita agar jangan mau berulang-ulang jadi budak ketidakadilan. Malik yang setelah ditelisik sejarah dan motif nya mengaku Tuhan lantaran semata-mata merasa ketidakadilan menerpanya dikala dia tak menang di pemilu legislatif tahun lalu. Saya yakin disinilah perlunya iman, dimana ketika orang sedang jatuh dan merasa tak berdaya buat bangkit lagi maka bukan dengan cara mengikuti tindakan-tindakan yang tak masuk akal memperumit masalah negara ini misalnya dengan membentuk dan mengikuti keyakinan, ketuhanan, dan ajaran-ajaran menyimpang.
Sejak kejadian itu dan Saya berharap untuk seterusnya selama pompa jantung Saya masih aktif berinteraksi dengan oksigen, Saya yakin dengan keadilan Tuhan yang sejati, karena entah kenapa kebodohan saya terkalahkan waktu itu dan Saya percaya Tuhan sejati lah yang menundukan keterbelakangan Saya, walau Ia tak terlihat. Selama ini Saya dibodohkan dengan pencarian Tuhan, namun dengan kejadian silam, sekarang Saya tahu bahwa Tuhan bukan untuk dicari tapi dirasakan.
Orang-orang tak perlu tahu Saya beragama apa, dan Saya merasa siapapun tak perlu tahu Saya menuhankan siapa. Yang pasti Saya bukan pengikut orang-orang gila tak menerima keadaan sebagai orang gagal yang akhirnya mengobati kesakithatiannya dengan mengaku sebagai tuhan yang banyak di negri ini.
Sudah hampir enam bulan Saya memimpin rubrik favorit di majalah ini, sejak kejadian membongkar kematian si tuhan palsu, sekeras apapun upaya Saya menyembunyikan diri tetap tercium oleh para pembuat berita. Mendadak Saya menjadi sorotan di berbagai media sebagai orang yang paling sering berkomunikasi di telepon dengan Malik Kartono, bahkan telepon genggam yang bernomor telepon rumah itu diserahkan polisi kepada Saya buat keterangan wawancara yang membuat Saya terbiasa dengan dunia jurnalis. Beberapa wartawan dan pimpinan redaksi media cetak maupun elektronik sudah familiar dengan Saya, begitu juga sebaliknya hingga membuat Saya berani menawarkan diri bekerja di sebuah majalah ternama dan langsung diterima. Tak tanggung-tanggung, Saya langsung dijadikan pimpinan redaksi sebuah rubrik yg isinya pengalaman orang-orang yang sebelumnya tak mempercayai Tuhan kini menjadi seorang yang berTuhan. Agak kontradiksi memang dengan basic Saya di dunia ekonomi.
Saya tak perlu memberitahu apa agama Saya, Saya tak perlu memberitahu siapa yang Saya Tuhankan. Untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman spritual guna diterbitkan di rubrik majalah tempat Saya bekerja, Saya hanya merasa perlu menginformasikan sebuah nomor kontak pribadi buat mereka yang ingin terbuka pada Saya.....
Jika ada yang mau bercerita…..
Hubungi 7607766.
***
Oleh : Junior Panda Limbong
24 Januari 2010, 23.30 WIB
Sutradara : Aditya Gumay
Pemain : Atik Kanser, Reza Rahadian, Didi Petet, Henidar Amroe
Genre : Drama
Bahasa : Indonesia
Rilis : 2009
Apa yang anda harapkan ketika menonton film bertema cita-cita dan impian, tentu saja dengan ending yang membahagiakan ketika si tokoh utama meraih impiannya itu, bukan? Begitupun dengan Emak Ingin Naik Haji. Tapi justru bayangan itu sedikit naik turun seiring berjalannya alur film. Betapa tidak, karena sesungguhnya film ini bukan melulu menceritakan sosok emak dengan segenap harapannya untuk dapat melaksanakan kunjungan ke rumah sang Khalik. Ada subplot yang diselingi Aditya Gumay sebagai sutradara, untuk menambah harmonisasi cerita dan konflik agar terasa maksimal. Namun kesemuanya itu terasa sedikit sinetron walaupun kelihatan betul usaha aditya untuk menunjukan film ini jelas levelnya diatas sinetron dengan disuguhkannya dialog-dialog kritis. Mengharukan memang, namun terasa tanggung.
Mungkin masih jelas diingatan kita sebuah FTV di satasiun televisi swasta yang mengisahkan hal serupa, mengenai seorang tukang bubur yang punya impian ingin naik haji, dan hasilnya tokoh yang diperankan mat solar itu pun dapat memenuhi keinginannya bahkan turut serta memboyong istri dan orangtuanya ke tanah suci. Di Emak Ingin Naik Haji, hal mirip digambarkan pada tokoh Zen, yang menyambung hidupnya sebagai pedagang lukisan keliling, bercerai dari istrinya hingga setelahnya tinggal bersama sang emak. Emak (yang diperankan sangat natural oleh Atik Kanser), adalah seorang penempah kue pesanan mempunya cita-cita melaksanakan ibadah haji ditengah keadaan yang tidak memungkinkan, untuk itu emak hanya bisa menatap dan menyentuh ka'bah melalui lukisan anaknya, Zen. Namun ketidakmungkinan inilah yang mengantarkan penonton pada ending yang tak terduga. Dari awal kita sudah disuguhkan usaha keras Zen untuk mengabulkan keinginan emak, namun ternyata bukan upaya tulus Zen yang mengakhiri kisah mengharukan ini.
Disela-sela usaha keras Zen dan Emak, Aditya memasuki ruangan yang sarat kritik melalui dua subplot singkat yang tentu berhubungan dengan kisah emak. Ada seorang calon walikota genit yang hendak menunaikan haji demi kepentingan kampanye. Lalu ada sebuah keluarga kaya raya, yang juga tetangga emak, yang sudah berkali-kali melaksanakan haji dan umroh. Di subplot kedua inilah Aditya berusaha untuk kritis, namun tetap terasa tanggung. Misalnya ketika tokoh anak si keluarga kaya mempertanyakan hukum mengenakan emas bagi laki-laki berbeda di al-quran dan di hadist, dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan mengkritisi melalui tokoh si anak tadi, tak kecuali soal keberangkatan haji keluarganya yang lebih didasari gaya-gayaan lantaran keikutsertaan seorang artis. Dan kesemua pertanyaan itu akhirnya diselesaikan tokoh ustad (yang diperankan Jefri Al Bukhori) di penghujung film dengan kembali mempertanyakan sumber pertanyaan si anak yang kemudian dijawab dari internet. Cukup sampai disitu, tak ada penjelasan lebih lanjut, sang ustad hanya memberi nasihat : kamu harus lebih banyak belajar.
Disamping hal-hal tanggung itu tadi, kisah yang diangkat dari cerpen Asma Nadia ini sebenarnya sudah cukup apik dengan dapat membuat saya meneteskan airmata, namun jika digarap lebih baik lagi, harusnya perjuangan ibu dan anak yang menjadi tokoh sentral di film ini dapat menguras emosi dan airmata penonton lebih menganaksungai, tak cuma setetes dua tetes airmata. Akting para pendukung film ini juga cukup baik, sang sutradara tau betul menempatkan posisi masing-masing artisnya, walaupun para figuran sedikit mengganggu karena familiarnya wajah mereka di panggung lenong, jelas saja Aditya menggunakan anak didiknya dimana dia tak lain adalah bos para jebolan lenong bocah.
Yang menarik adalah akting Henidar Amroe, meski tampil sekilas sebagai istri calon walikota, aktris peraih citra 2009 ini sangat dapat mengaduk emosi penonton dengan ekspresi marahnya. Dan yang paling berhasil membuat film ini cukup mengharukan tentu saja Atik Kanser dan Reza Rahadian (yang memerankan tokoh Zen) yang mampu membuat penonton menjadi melankolis, ditambah dengan alunan vokal indah Jefri Al Bukhori, menambah kesenduan tiap-tiap adegannya. Mungkin berkat mereka berdualah film ini menjadi berarti, chemistry yang dibangun benar-benar natural, bahkan kedekatan mereka sepintas membuat kita rindu dengan ibu, rindu ingin memeluknya, ingin membahagiakannya, apalagi menaikhajikannya.
Pesan moral dalam film yang banyak meraih penghargaan ini pun terasa pada penonton walau di rasa tak menggurui, terlebih lagi mengingat semua usaha Zen sampai-sampai ia harus mengikuti undian berhadiah naik haji demi memenuhi keinginan ibunya. Penonton pasti setuju mengatakan ending film adalah ketika Zen memenangi undian itu dan segera memberangkatkan emak ke tanah arab. Namun tebakan itu salah, sebuah kecelakaan yang mempertemukan si calon walikota dan emak, menggagalkan kemenangan undian itu. Walau pada akhirnya film ini happy ending, namun meninggalkan bekas pada penonton bahwa teruslah berikhitar untuk meraih impian, apapun itu, jika mengingankan sesuatu imbangilah dengan kerja keras, dan apabila tak kunjung tercapai, percayalah semua usaha keras itu akan terjawab dari arah yang tak terduga. Sama seperti imipian emak, yang ternyata datang dari arah yang tak pernah dibayangkan.
Overall... meski banyak kecacatan yang tak disengaja lantaran 'tanggung' nya aditya dalam mengeksekusi dialog film keluarga ini, tak salah saya merekomendasikan film ini sebagai sajian hangat untuk para moviegoers, dari kalangan apapun itu, tak hanya kaum muslim, karena film ini berbicara ke hal yang lebih luas, menganai impian dan harapan.
3 out of 5 stars.
*JPL*
Sutradara : Nick Cassavetes
Pemain : Cameron Diaz, Abigail Breslin, Sofia Vassilieva, Jason Patric, Alec Baldwin
Genre : Drama
Bahasa : Inggris
Rilis : Juni 2009
Semua orangtua akan berusaha melakukan yang terbaik untuk anaknya. Segala upaya akan ditempuh demi mengatasi sesuatu yang dianggap bermasalah terhadap sang buah hati. Terlebih lagi permasalahan itu muncul dari sebuah penyakit ganas yang tertanam sejak kecil. Pasti! Orangtua manapun pasti akan rapuh menghadapi kenyataan salah seorang anaknya mengalami penyakit serius bahkan mematikan. Berbagai alternativ dicoba untuk menyudahi penyakit itu, mulai dari obat penenang, penahan rasa sakit, hingga upaya pendonoran organ tubuh. Namun sebuah kenyataan baru menjadi permasalahan baru pula, bahwa sejatinya pun ayah kandung, ibu kandung, dan saudara kandung tak menjamin kecocokan human leukocyte antigen (HLA) terhadap keturunan lain -hanya ada 1 dari 200 kemungkinan- hingga opsi pendonoran yang direncanakan orangtua pun mustahil dilakukan. Tapi sekali lagi bahwa ikhitar orangtua bisa menembus segalanya demi kenormalan anaknya. Maka solusi baru pun ditemui, dengan saran dari dokter untuk membuat keturunan baru secara instan guna memastikan kecocokan HLA untuk si anak. Dengan menyatukan sperma dan sel telur maka dapat dilakukan diagnosis preimplentasi genetik untuk menyeleksi embrio mana yang cocok dengan genetik si anak. Dan dilaksanakanlah program bayi tabung.
Seperti itulah sedikit gambaran film My Sister’s Keeper besutan sutradara Nick Cassavetes. Anna (Abigail Breslin), diusia pra remajanya menyewa pengacara nomor satu di California untuk menuntut kedua orangtuanya ke meja hukum lantaran sudah merampas hak atas tubuhnya seumur hidup, sementara kedua orangtua Anna mengelak dengan dalil bahwa usia yang berhak memutuskan adalah 14 tahun, sementara Anna masih berusia 13 tahun. Anna dilahirkan dari program bayi tabung untuk dijadikan cadangan kakaknya, Kate yang menderita leukemia akut. Sejak lahir Anna sudah mengalami pengambilan darah tali pusat, transfusi sel darah putih, sumsum tulang belakang, limposit, suntikan untuk menambah sel, dan kemudian diambil kembali untuk diberikan pada Kate. Seperti itulah Anna menjalani hidupnya, lahir untuk dijadikan sebagai suku cadang untuk sang kakak. Seperti yang diungkapkannya, bahwa ia tak akan lahir jika kakaknya tak sakit.
Masalah semakin rumit ketika ginjal Kate (Sofia Vassilieva) rusak. Itu artinya ginjal Anna segara diambil satu. Disinilah puncaknya Anna memberontak, rasa cintanya terhadap sang kakak tak pelak harus membuatnya menidaknyamankan diri. Dan ia pun menemui pengacara ternama, Alexander ( Alec Baldwin). Konflik yang menjadi penting selain konflik batin atara kakak beradik Kate-Anna, tentunya berada dibagian pengadilan dimana penuntut bertemu tertuntut. Ibu Anna, Sara (Cameron Diaz) yang di interogasi hakim atas laporan puteri kecilnya menjadi adegan yang membuat kita terengah-engah atas dialog-dialog tajam namun menyentuh. Disini pula lah kenyataan baru terkuak, ada motivasi lain dari Anna atas tuntutannya itu.
Film yang diangkat dari novel best seller Jodi Picoult ini dapat dikatakan sangat menguras airmata. Kualitas nyatanya dapat dirasakan dari unsur yang selain menghibur tentu saja juga sarat pesan moral. Meninggalkan kesan bahwa tak seharusnya orangtua mengotak-ngotakan kualitas anak sehingga muncul kata penting dan tidak penting. Bahwa hakikatnya sang anak juga punya hak, punya kebebasan memilih, punya impian. Sekalipun itu bayi rancangan (meminjam istilah Anna yang kerap kali ia katakan) berdasarkan program bayi tabung, seharusnya dapat disadari bahwa sekarang ini ia adalah manusia bernyawa yang memliki akal fikiran.
Walau sebegitu hebatnya pun kualitas dan esensi cerita yang ditawarkan gambar bergerak ini justru tak diikuti oleh akting yang prima dari bintang yang menjadi jualan film ini. Ya, akting Cameron Diaz, salah satu aktris termahal Hollywood ini rasanya tenggelam oleh kualitas akting dari dua bintang utama lainnya, Sofia Vassilieva dan Abigail Breslin. Lieva yang penampilan bersinarnya didukung oleh make up yang sangat luar biasa mampu menyentuh hati penonton tanpa ia bicara sekalipun. Ditambah dengan totalitas memplontoskan kepalanya membuat aktris muda ini paling berpengaruh menguras hati sebagai pengidap leukemia. Breslin pun demikian, tak diragukan lagi bahwa gadis berusia 14 tahun ini sudah menjadikan adegan berceceran airmata sebagai sarapannya. Pernah berpeluang meraih predikat aktris pendukung terbaik di oscar ke 79 lewat penampilan ciamiknya di Little Miss Sunshine, semakin membuatnya bisa membuktikan diri bahwa ia pun layak diperhitungkan dikancah perfilman dunia lewat My Sister’s Keeper. Namun tidak setali tiga uang dengan Diaz, salah satu personil di film jagoan seksi Charlie’s Angels ini justru tak sebaik junior-nya, disini Diaz terkesan berakting labil. Disatu scene ia menampilkan performa hebat, namun di scene lain ia terkesan berakting nanggung. Padahal dialah yang jadi jualan utama film produksi New Line Cinema ini.
Namun secara keseluruhan film ini sangat patut diapresiasi melihat kualitas dan ceritanya. Meski tak diperhitungkan di ajang Academy Awards tahun lalu, Film yang skenarionya ditulis Jeremy Leven (yang juga mengadaptasi novel fenomenal The Notebook) ini, sungguh tak salah untuk saya rekomendasikan buat anda yang membaca review ini. Terlebih penekanan inti di film ini adalah mengemukakan bahwa seorang anak juga punya hak, dan juga menggambarkan betapa segalanya akan ditempuh orangtua sebagai pengejawantahan kasih sayang untuk kebahagiaan anak-anaknya walaupun terkadang melampaui akal sehat.
3 out of 5 stars.
*JPL*