Emak Ingin Naik Haji : Sebuah Harapan Yang Terwujud Dari Arah Lain


Sutradara : Aditya Gumay
Pemain : Atik Kanser, Reza Rahadian, Didi Petet, Henidar Amroe
Genre : Drama
Bahasa : Indonesia
Rilis : 2009

Apa yang anda harapkan ketika menonton film bertema cita-cita dan impian, tentu saja dengan ending yang membahagiakan ketika si tokoh utama meraih impiannya itu, bukan? Begitupun dengan Emak Ingin Naik Haji. Tapi justru bayangan itu sedikit naik turun seiring berjalannya alur film. Betapa tidak, karena sesungguhnya film ini bukan melulu menceritakan sosok emak dengan segenap harapannya untuk dapat melaksanakan kunjungan ke rumah sang Khalik. Ada subplot yang diselingi Aditya Gumay sebagai sutradara, untuk menambah harmonisasi cerita dan konflik agar terasa maksimal. Namun kesemuanya itu terasa sedikit sinetron walaupun kelihatan betul usaha aditya untuk menunjukan film ini jelas levelnya diatas sinetron dengan disuguhkannya dialog-dialog kritis. Mengharukan memang, namun terasa tanggung.

Mungkin masih jelas diingatan kita sebuah FTV di satasiun televisi swasta yang mengisahkan hal serupa, mengenai seorang tukang bubur yang punya impian ingin naik haji, dan hasilnya tokoh yang diperankan mat solar itu pun dapat memenuhi keinginannya bahkan turut serta memboyong istri dan orangtuanya ke tanah suci. Di Emak Ingin Naik Haji, hal mirip digambarkan pada tokoh Zen, yang menyambung hidupnya sebagai pedagang lukisan keliling, bercerai dari istrinya hingga setelahnya tinggal bersama sang emak. Emak (yang diperankan sangat natural oleh Atik Kanser), adalah seorang penempah kue pesanan mempunya cita-cita melaksanakan ibadah haji ditengah keadaan yang tidak memungkinkan, untuk itu emak hanya bisa menatap dan menyentuh ka'bah melalui lukisan anaknya, Zen. Namun ketidakmungkinan inilah yang mengantarkan penonton pada ending yang tak terduga. Dari awal kita sudah disuguhkan usaha keras Zen untuk mengabulkan keinginan emak, namun ternyata bukan upaya tulus Zen yang mengakhiri kisah mengharukan ini.

Disela-sela usaha keras Zen dan Emak, Aditya memasuki ruangan yang sarat kritik melalui dua subplot singkat yang tentu berhubungan dengan kisah emak. Ada seorang calon walikota genit yang hendak menunaikan haji demi kepentingan kampanye. Lalu ada sebuah keluarga kaya raya, yang juga tetangga emak, yang sudah berkali-kali melaksanakan haji dan umroh. Di subplot kedua inilah Aditya berusaha untuk kritis, namun tetap terasa tanggung. Misalnya ketika tokoh anak si keluarga kaya mempertanyakan hukum mengenakan emas bagi laki-laki berbeda di al-quran dan di hadist, dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan mengkritisi melalui tokoh si anak tadi, tak kecuali soal keberangkatan haji keluarganya yang lebih didasari gaya-gayaan lantaran keikutsertaan seorang artis. Dan kesemua pertanyaan itu akhirnya diselesaikan tokoh ustad (yang diperankan Jefri Al Bukhori) di penghujung film dengan kembali mempertanyakan sumber pertanyaan si anak yang kemudian dijawab dari internet. Cukup sampai disitu, tak ada penjelasan lebih lanjut, sang ustad hanya memberi nasihat : kamu harus lebih banyak belajar.

Disamping hal-hal tanggung itu tadi, kisah yang diangkat dari cerpen Asma Nadia ini sebenarnya sudah cukup apik dengan dapat membuat saya meneteskan airmata, namun jika digarap lebih baik lagi, harusnya perjuangan ibu dan anak yang menjadi tokoh sentral di film ini dapat menguras emosi dan airmata penonton lebih menganaksungai, tak cuma setetes dua tetes airmata. Akting para pendukung film ini juga cukup baik, sang sutradara tau betul menempatkan posisi masing-masing artisnya, walaupun para figuran sedikit mengganggu karena familiarnya wajah mereka di panggung lenong, jelas saja Aditya menggunakan anak didiknya dimana dia tak lain adalah bos para jebolan lenong bocah.

Yang menarik adalah akting Henidar Amroe, meski tampil sekilas sebagai istri calon walikota, aktris peraih citra 2009 ini sangat dapat mengaduk emosi penonton dengan ekspresi marahnya. Dan yang paling berhasil membuat film ini cukup mengharukan tentu saja Atik Kanser dan Reza Rahadian (yang memerankan tokoh Zen) yang mampu membuat penonton menjadi melankolis, ditambah dengan alunan vokal indah Jefri Al Bukhori, menambah kesenduan tiap-tiap adegannya. Mungkin berkat mereka berdualah film ini menjadi berarti, chemistry yang dibangun benar-benar natural, bahkan kedekatan mereka sepintas membuat kita rindu dengan ibu, rindu ingin memeluknya, ingin membahagiakannya, apalagi menaikhajikannya.

Pesan moral dalam film yang banyak meraih penghargaan ini pun terasa pada penonton walau di rasa tak menggurui, terlebih lagi mengingat semua usaha Zen sampai-sampai ia harus mengikuti undian berhadiah naik haji demi memenuhi keinginan ibunya. Penonton pasti setuju mengatakan ending film adalah ketika Zen memenangi undian itu dan segera memberangkatkan emak ke tanah arab. Namun tebakan itu salah, sebuah kecelakaan yang mempertemukan si calon walikota dan emak, menggagalkan kemenangan undian itu. Walau pada akhirnya film ini happy ending, namun meninggalkan bekas pada penonton bahwa teruslah berikhitar untuk meraih impian, apapun itu, jika mengingankan sesuatu imbangilah dengan kerja keras, dan apabila tak kunjung tercapai, percayalah semua usaha keras itu akan terjawab dari arah yang tak terduga. Sama seperti imipian emak, yang ternyata datang dari arah yang tak pernah dibayangkan.

Overall... meski banyak kecacatan yang tak disengaja lantaran 'tanggung' nya aditya dalam mengeksekusi dialog film keluarga ini, tak salah saya merekomendasikan film ini sebagai sajian hangat untuk para moviegoers, dari kalangan apapun itu, tak hanya kaum muslim, karena film ini berbicara ke hal yang lebih luas, menganai impian dan harapan.

3 out of 5 stars.

*JPL*

0 Response to "Emak Ingin Naik Haji : Sebuah Harapan Yang Terwujud Dari Arah Lain"